Pringsewu: Ketua Gepak Lampung, Wahyudi atau Yudhi Hasyim, kembali mengingatkan Polres Pringsewu untuk tidak
menggunakan ‘politik papan bunga’ sebagai cara meng-glorifikasi sesuatu yang dianggap sebagai keberhasilannya.
“Keberhasilan kerja polisi dalam mengungkap suatu perkara itu biasa karena sudah menjadi tugas dan tanggung-jawabnya. Polisi profesional saja, dan saya berharap papan bunga yang tabur sejak Sabtu kemarin di Pringsewu tidak dimobilisasi oleh kepolisian,” kritik Yudhi, di Bandarlampung, Minggu (03/11/2024).
Pernyataan atau kritik tajam Yudhi kepada Polres Pringsewu tersebut terkait ramainya papan bunga yang dipajang di sekitar kantor Polres Pringsewu sejak Sabtu (02/11/2024) setelah kepolisian setempat berhasil menangkap dua orang tersangka diduga oknum wartawan yang memeras kepala desa, Kapuskesmas dan kepala sekolah di Pringsewu.
“Tuntaskan saja proses hukum perkara tersebut, segera, tanpa budaya politik papan bunga atau glorifikasi,” lanjut Yudhi.
Menurut Yudhi, budaya politik papan bunga dapat menyerang balik kepolisian bila institusi itu gagal memenuhi ekspektasi masyarakat.
“Kan boleh juga masyarakat mengirim papan bunga bila tidak puas dengan kinerja kepolisian. Repotkan!” sindir Yudhi.
Sebelumnya Wahyudi mengingatkan Kapolres Pringsewu untuk berhati-hati dalam mengeluarkan kebijakan yang dapat berpotensi menimbulkan konflik dan kegaduhan, khususnya terkait hubungan antara Polres dan jurnalis. Pernyataan ini dikeluarkan setelah munculnya surat imbauan dari pihak sekolah yang bekerja sama dengan Polres Pringsewu untuk membatasi ruang gerak jurnalis dalam meliput berbagai masalah internal sekolah.
Surat himbauan tersebut dinilai oleh sebagian pihak sebagai upaya pembatasan kebebasan pers dalam menjalankan fungsi jurnalistik di sekolah. Walaupun bertujuan baik, Yudhi menilai kebijakan ini bisa membawa dampak negatif, yang dapat dianggap sebagai upaya menghalangi kebebasan pers di wilayah tersebut.
Menurut Yudhi, kebijakan semacam ini seharusnya diambil melalui musyawarah antara Aparat Penegak Hukum (APH), pemerintah, dan perwakilan organisasi pers di Kabupaten Pringsewu.
Dengan adanya dialog dan kesepakatan bersama, Yudhi meyakini bahwa keputusan yang diambil akan lebih bisa diterima oleh semua pihak. “Kebijakan yang tidak melalui musyawarah dapat menimbulkan asumsi liar yang justru bisa memperburuk keadaan. Hal ini dapat menciptakan kegaduhan yang berujung pada ‘perang dingin’ antara jurnalis dan pihak sekolah,” ungkap Yudhi.
Yudhi menekankan, penting untuk diingat bahwa tidak semua perilaku oknum harus digeneralisasi sehingga menimbulkan keputusan yang mengarah pada pembatasan ruang gerak jurnalistik. “Tidak seharusnya kesalahan yang mungkin dilakukan oleh oknum tertentu dijadikan dasar untuk membatasi kerja jurnalis. Pers memiliki peran penting sebagai pilar keempat dalam demokrasi,” tegasnya.
Kebebasan pers di Indonesia dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. UU tersebut menegaskan bahwa kebebasan pers merupakan bagian dari kedaulatan rakyat yang harus dihormati, dan pemerintah atau pihak swasta tidak berhak mengintervensi media dalam menjalankan tugasnya.
Dengan adanya UU Pers, diharapkan media massa di Indonesia dapat bekerja secara bebas namun tetap bertanggung jawab. Kebijakan yang dibuat tanpa melalui diskusi dengan berbagai pihak dapat berpotensi mengabaikan prinsip kebebasan pers yang diatur dalam UU ini.
Dalam pernyataannya, Yudhi juga mengingatkan bahwa kebijakan yang membatasi ruang gerak jurnalis di sekolah bisa berdampak negatif, terutama bagi masyarakat. “Ketika akses informasi dibatasi, masyarakat tidak akan mendapatkan informasi yang transparan dan akurat terkait situasi di lapangan,” ujarnya. Hal ini tentu bertentangan dengan fungsi pers sebagai pilar keempat demokrasi yang memiliki peran penting dalam memberikan informasi kepada publik.
Lebih lanjut, Yudhi menekankan pentingnya menjaga hubungan baik antara jurnalis, pemerintah, dan institusi lainnya, terutama menjelang pilkada. “Kita semua berharap agar suasana damai dan kondusif(Red)